Pai.umsida.ac.id Bulan Rajab merupakan salah satu bulan istimewa dalam kalender Hijriah. Ia termasuk dalam empat bulan haram (asyhurul hurum) yang dimuliakan Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Setiap datangnya bulan Rajab, umat Islam kerap menyambutnya dengan berbagai amalan ibadah, salah satunya adalah puasa Rajab.
Namun, praktik ini memunculkan beragam pandangan di tengah umat, termasuk dari Muhammadiyah yang menempatkan persoalan ini dalam kerangka Al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan manhaj tarjih. Muhammadiyah memandang bahwa semangat beribadah di bulan Rajab merupakan hal yang baik. Akan tetapi, semangat tersebut harus selalu selaras dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW agar ibadah yang dilakukan tidak hanya bernilai spiritual, tetapi juga sahih secara syar’i.
Rajab sebagai Bulan Haram dalam Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 36 bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas, dan di antaranya terdapat empat bulan haram. Para ulama sepakat bahwa bulan-bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan ini, umat Islam diperintahkan untuk menjauhi kezaliman dan meningkatkan ketakwaan.
Namun demikian, Muhammadiyah menegaskan bahwa kemuliaan suatu waktu tidak otomatis melahirkan bentuk ibadah mahdhah yang bersifat khusus. Dalam prinsip tarjih, setiap ibadah mahdhah harus memiliki dasar yang jelas dari Al-Qur’an atau Sunnah Nabi Muhammad SAW yang sahih.
Puasa Rajab dalam Ajaran Nabi Muhammad SAW
Jika merujuk langsung kepada praktik Nabi Muhammad SAW, tidak ditemukan riwayat sahih yang menunjukkan bahwa beliau mengkhususkan puasa pada bulan Rajab. Aisyah RA pernah menyampaikan bahwa Rasulullah SAW berpuasa di bulan-bulan tertentu, namun tidak pernah secara khusus mengkhususkan Rajab sebagai bulan puasa sunnah tertentu.
Bahkan, dalam sejumlah riwayat sahih, Nabi Muhammad SAW justru lebih sering berpuasa di bulan Sya’ban dibandingkan bulan lainnya, selain Ramadan. Hal ini menunjukkan bahwa apabila puasa Rajab memiliki keutamaan khusus, tentu Nabi SAW adalah orang pertama yang mencontohkannya secara konsisten dan jelas.
Dalam ajaran Nabi Muhammad SAW, prinsip utama ibadah adalah ittiba’ (mengikuti tuntunan), bukan sekadar banyaknya amalan. Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amalan yang tidak memiliki dasar perintah darinya berpotensi tertolak. Prinsip inilah yang menjadi fondasi sikap Muhammadiyah dalam menyikapi puasa Rajab.
Almalan Bulan Rajab Yang Dianjurkan menurut Muhammadiyah
1. Puasa Sunnah Umum
Muhammadiyah memperbolehkan puasa di bulan Rajab selama tidak diniatkan sebagai puasa khusus Rajab. Puasa yang dianjurkan adalah puasa sunnah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, seperti: Puasa Senin dan Kamis, Puasa Ayyamul Bidh (13, 14, 15 Hijriah), Puasa sunnah mutlak. Puasa dilakukan sebagai bentuk mengikuti sunnah Nabi, bukan karena keistimewaan bulan Rajab itu sendiri.
2. Memperbanyak Shalat Sunnah yang Sahih
Tidak ada shalat khusus Rajab dalam ajaran Muhammadiyah. Namun, shalat sunnah yang memiliki dasar sahih tetap dianjurkan, antara lain seperti Shalat rawatib, Shalat dhuha, Shalat tahajud, dan Shalat witir.
3. Memperbanyak Tilawah dan Tadabbur Al-Qur’an
Membaca dan mentadabburi Al-Qur’an merupakan amalan utama yang tidak terikat waktu. Bulan Rajab dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kedekatan dengan Al-Qur’an sebagai persiapan spiritual menuju Ramadan.
4. Dzikir dan Doa yang Ma’tsur
Muhammadiyah menganjurkan dzikir dan doa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, tanpa mengkhususkan bacaan tertentu di bulan Rajab, seperti: Istighfar, Tasbih, tahmid, dan takbir dan juga Doa-doa yang diajarkan Rasulullah SAW. Amalan ini mencerminkan sikap tawadhu’ dan ketergantungan kepada Allah SWT.
5. Peningkatan Akhlak dan Amal Sosial
Ibadah dalam Islam tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga sosial. Amalan Rajab dapat diwujudkan melalui: Membantu fakir miskin, Mempererat silaturahmi, Menjaga lisan dan perilaku, Menegakkan kejujuran dan amanah. Nilai-nilai ini menjadi inti dakwah Muhammadiyah yang berorientasi pada kemaslahatan umat.
6. Muhasabah dan Persiapan Menuju Ramadan
Rajab dipandang sebagai fase awal evaluasi diri sebelum memasuki Sya’ban dan Ramadan. Muhasabah dilakukan untuk memperbaiki kualitas ibadah dan komitmen keislaman secara menyeluruh.
7. Menuntut Ilmu dan Memperdalam Pemahaman Agama
Muhammadiyah menempatkan ilmu sebagai fondasi utama dalam beragama. Mengikuti kajian keislaman, membaca literatur tarjih, serta memperdalam pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah merupakan amalan yang sangat dianjurkan, termasuk di bulan Rajab.
Kajian Hadits dan Sikap Muhammadiyah Terhadap Puasa Rajab
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan bahwa hadis-hadis yang secara khusus menyebut keutamaan puasa Rajab seperti penghapusan dosa tertentu atau janji pahala yang spesifik berstatus lemah (dhaif) bahkan sebagian palsu (maudhu’). Hadis-hadis semacam ini tidak dapat dijadikan hujah dalam penetapan ibadah mahdhah.
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), Muhammadiyah menegaskan bahwa hukum asal ibadah mahdhah adalah terlarang hingga terdapat dalil sahih yang memerintahkannya. Prinsip ini sepenuhnya sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang sangat tegas dalam menjaga kemurnian ibadah. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak menetapkan puasa Rajab sebagai sunnah khusus, karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak memberikan contoh pengkhususan tersebut.
Puasa Tetap Boleh, Tetapi Sesuai Sunnah Nabi
Meski tidak mengkhususkan puasa Rajab, Muhammadiyah tidak melarang umat Islam berpuasa di bulan ini. Puasa tetap diperbolehkan jika diniatkan sebagai puasa sunnah yang memang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sepanjang tahun, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh, atau puasa sunnah mutlak.
Pendekatan ini mencerminkan sikap moderat Muhammadiyah: menjaga semangat ibadah sekaligus memastikan kesesuaiannya dengan sunnah Nabi. Dengan kata lain, yang dikritisi bukan puasanya, melainkan pengkhususan Rajab sebagai bulan puasa tertentu tanpa dalil dari Rasulullah SAW.
Literasi Keagamaan dan Keteladanan Nabi
Fenomena puasa Rajab juga menunjukkan pentingnya literasi keagamaan di tengah umat. Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk berhati-hati dalam beragama dan tidak mudah mengikuti praktik keagamaan tanpa dasar ilmu. Prinsip ini relevan dengan upaya Muhammadiyah dalam mendorong umat agar beragama secara rasional dan berlandaskan dalil. Dalam konteks ini, ajaran Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan utama Muhammadiyah dalam membangun keberagamaan yang mencerahkan dan bertanggung jawab
Peran Pendidikan Islam dan Mahasiswa PAI
Bagi civitas akademika PAI, pembahasan puasa Rajab dapat dijadikan contoh bagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW dipahami melalui pendekatan ilmiah. Mahasiswa PAI diharapkan mampu menjelaskan kepada masyarakat bahwa mengikuti sunnah Nabi tidak selalu berarti menambah amalan, tetapi justru memastikan bahwa amalan tersebut benar dan sesuai tuntunan.
Sikap Bijak dalam Perbedaan
Muhammadiyah juga menekankan pentingnya sikap bijak dan toleran dalam menyikapi perbedaan fiqh. Perbedaan pandangan tentang puasa Rajab hendaknya disikapi sebagai bagian dari dinamika keilmuan Islam, bukan sebagai sumber konflik. Prinsip ini sejalan dengan teladan Nabi Muhammad SAW yang mengedepankan hikmah dan kebijaksanaan dalam berdakwah.
Amalan bulan Rajab menurut Muhammadiyah tidak bertumpu pada ritual khusus, melainkan pada penguatan amalan sunnah yang sahih dan bersifat universal. Dengan berpegang pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan manhaj tarjih, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengisi bulan Rajab dengan ibadah yang berkualitas, berilmu, serta memiliki dampak sosial yang nyata. Rajab tidak dimaknai sebagai waktu untuk menambah ritual baru, melainkan sebagai momentum untuk meluruskan niat, meningkatkan kualitas ibadah, dan mempersiapkan diri secara spiritual menuju bulan Ramadan.
Puasa Rajab dalam perspektif Muhammadiyah, jika ditinjau dari ajaran Nabi Muhammad SAW, menegaskan bahwa setiap ibadah harus dibangun di atas dalil yang sahih dan keteladanan Rasulullah. Meskipun Rajab merupakan bulan yang mulia, Nabi Muhammad SAW tidak mengkhususkannya dengan puasa tertentu. Oleh karena itu, Muhammadiyah mengajak umat Islam menjadikan Rajab sebagai sarana peningkatan kualitas iman dan ketakwaan, bukan penambahan ritual yang tidak memiliki tuntunan yang jelas.
Dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW secara utuh baik dalam aspek ibadah, akhlak, maupun metodologi beragama umat Islam diharapkan mampu mewujudkan Islam yang berkemajuan, mencerahkan, dan tetap berpegang teguh pada prinsip sunnah yang autentik. Rajab pun menjadi bagian dari proses pembinaan diri yang berkelanjutan, menuju keberagamaan yang lebih sadar, bertanggung jawab, dan bermakna.















