Pai.umsida.ac.id – Fenomena pergeseran nilai-nilai adab santri terhadap ustadz dan ustadzah kini menjadi perhatian serius, khususnya di lingkungan Pondok Pesantren Al Fattah Sidoarjo.
Baca Juga: Moch Chafid Dhuhah, Wisudawan Terbaik Prodi PAI dengan IPK 3,94 Berpredikat Cumlaude
Realitas ini terungkap dalam hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Isa Asrori dan Ainun Nadlif, yang telah dipublikasikan dalam Jurnal Pendas Volume 10, Edisi Juni 2025.
Penelitian ini menyoroti perubahan sikap dan perilaku santri yang dinilai telah mengalami pergeseran dibandingkan generasi sebelumnya. Faktor eksternal seperti perkembangan teknologi, perubahan gaya hidup, serta tantangan sosial dinilai memiliki kontribusi signifikan dalam membentuk pola interaksi santri dengan para pendidik di pesantren.
Adab sebagai Pilar Utama dalam Tradisi Pesantren
Dalam khazanah pendidikan Islam, adab merupakan pilar utama sebelum seseorang menuntut ilmu. Hal ini sejalan dengan prinsip yang disampaikan Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah, bahwa santri harus terlebih dahulu memperbaiki adabnya sebelum menimba ilmu dari gurunya. Adab mencakup berbagai hal mulai dari cara berbicara, bersikap, hingga menghormati keberadaan ustadz dan ustadzah sebagai orang tua kedua di lingkungan pendidikan.
Namun, hasil observasi menunjukkan adanya perubahan yang mengkhawatirkan. Sebagian santri mulai menunjukkan sikap yang kurang menghormati ustadz dan ustadzah. “Sekarang ada santri yang berbicara dengan guru seperti berbicara kepada teman sebaya. Bahkan ada pula yang hanya diam atau berlalu begitu saja saat berpapasan dengan ustadz atau ustadzah di luar kelas,” ungkap salah satu ustadz yang diwawancarai dalam penelitian.
Gejala ini menunjukkan adanya degradasi nilai-nilai sopan santun dan penghormatan yang semestinya melekat dalam diri seorang santri. Hal ini bukan hanya berdampak pada relasi antara santri dan guru, tetapi juga berpengaruh terhadap suasana belajar mengajar yang ideal di lingkungan pesantren.
Peran HISFA dan Strategi Pembinaan Santri
Sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai adab, Pesantren Al Fattah telah menerapkan sejumlah strategi pembinaan, salah satunya melalui penguatan peran Himpunan Santri Al Fattah (HISFA). HISFA merupakan organisasi internal santri yang menjadi perpanjangan tangan pesantren dalam pembinaan karakter. Santri senior yang tergabung dalam HISFA dibimbing terlebih dahulu oleh para ustadz dan ustadzah untuk memahami nilai-nilai adab, sebelum mereka bertugas menjadi contoh bagi santri lainnya.
“Santri yang tergabung dalam HISFA diberi pemahaman dan pelatihan tentang adab. Setelah itu, mereka bertugas mendampingi santri lain dalam membentuk budaya positif di lingkungan pesantren,” ujar salah satu narasumber dari tim pengajar.
Selain itu, pesantren juga mengadakan pembinaan rutin setiap pekan, khususnya pada malam Ahad. Pembinaan ini ditujukan kepada seluruh santri dan diisi dengan materi tentang akhlak, sopan santun, dan adab dalam kehidupan sehari-hari. Santri yang melanggar aturan atau menunjukkan sikap tidak sopan akan diberikan teguran hingga sanksi pembinaan melalui ruang Bimbingan Konseling (BK).
Tak hanya itu, kegiatan pembekalan menjelang perpulangan juga menjadi momen penting bagi pesantren untuk mengingatkan santri tentang pentingnya menjaga adab saat berada di tengah masyarakat. Pesan-pesan moral dan spiritual disampaikan langsung oleh kepala sekolah maupun para ustadz agar santri tidak hanya berilmu, tetapi juga beradab saat kembali ke lingkungan keluarga dan sosial.
Tantangan Teknologi dan Harapan Pendidikan Karakter
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam pembinaan adab santri saat ini adalah pengaruh teknologi, terutama media sosial dan perangkat digital. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi konten yang tidak mendidik melalui internet berdampak pada sikap dan pola pikir santri. Untuk itu, Pesantren Al Fattah mengambil langkah tegas dengan melarang santri membawa smartphone dan hanya memperbolehkan laptop untuk keperluan akademik di waktu-waktu tertentu.
“Konten yang mengandung kekerasan verbal, kurang sopan, atau hedonisme di media sosial bisa membentuk karakter anak secara tidak langsung. Maka kami perlu membatasi akses tersebut dan menggantinya dengan edukasi tentang etika digital,” terang Isa Asrori.
Penanaman nilai-nilai adab tidak bisa hanya dibebankan kepada guru atau pesantren semata. Peneliti juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam memberikan teladan dan pembiasaan adab sejak dini. Orang tua perlu menyadari bahwa anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar di rumah.
Baca Juga: Baitul Arqom Dosen Umsida, Perkuat Ideologi dan Etos Kerja Islami untuk SDM Unggul
Melalui hasil penelitian ini, Isa Asrori dan Ainun Nadlif berharap agar pendidikan karakter, khususnya adab, menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan Islam baik di pesantren maupun sekolah formal. Dengan sinergi yang kuat antara pesantren, orang tua, dan masyarakat, maka cita-cita membentuk generasi berilmu dan berakhlak mulia bukanlah hal yang mustahil.
Sumber: Jurnal Pendas Volume 10, Edisi Juni 2025.